Kembali

Wahid Foundation Dorong Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan Terapkan Kebijakan Anti Perundungan dan Kekerasan

Ditulis : Admin

Rabu, 28 Februari 2024

Siaran Pers Wahid Foundation terkait Perundungan Berujung Kematian di PPTQ Al Hanifiyah Kediri Jawa Timur

 

Kabar menyedihkan kembali datang dari dunia pendidikan. Seperti diberitakan banyak media, pada 27 Februari 2024, seorang santri berinisial BBM  (14 tahun) meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan oleh empat orang rekannya di Pondok Pesantren Pusat Pendidikan Tahfiz Alqur'an (PPTQ) Al Hanifiyyah di Mojo, Kediri, Jawa Timur. Pengasuh pesantren juga mengaku tidak mengetahui jika kematian BBM akibat perundungan dan kekerasan. Informasi yang diterima kematian itu terjadi akibat terjatuh di kamar mandi.

 

Kematian akibat kekerasan itu terungkap setelah keluarga almarhum di Banyuwangi mulai curiga saat ceceran darah terlihat keluar dari keranda dan meminta membuka kafan. Pihak pesantren yang hadir mendampingi penguburan almarhum menolak permintaan keluarga untuk membuka kain kafan, namun setelah desakan terus menerus, akhirnya permintaan tersebut dikabulkan. Dalam pemberitaan media nasional menyebutkan bahwa jenazah dipenuhi luka lebam di sekujur tubuh seperti, bekas jeratan di leher, hidung patah, bekas luka sundutan rokok di kaki, dan memar di dada. Saat ini kasus kematian BBM tengah diproses hukum.

 

Peristiwa ini menambah daftar panjang perundungan, kekerasan, termasuk yang berujung kematian di lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan keagamaan. Kekerasan di pesantren mungkin akan mendapat sorotan lebih kuat dari masyarakat karena citra pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan membawa nilai dan ajaran keagamaan. Pandangan ini tidak lain bentuk pengakuan dan penghormatan yang tinggi atas peran pesantren di Indonesia. Karena itu segala bentuk kekerasan tidak boleh ada di pesantren.

 

Atas peristiwa ini, Wahid Foundation menyatakan sikap sebagai berikut:

 

Pertama, menyampaikan belasungkawa dan duka mendalam bagi  keluarga korban. Kami amat berempati atas perasaan kehilangan dan kesedihan keluarga saat ini atas kepergiaan keluarga tercinta justru saat ia sedang menimba ilmu dan berada dalam institusi pendidikan yang seharusnya tidak menoleransi segala bentuk kekerasan.

 

Kedua, tindakan perundungan dan kekerasan tidak boleh ditoleransi atas nama apapun. Kehadiran lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang, bukan tempat yang menakutkan atau bahkan berpotensi membahayakan keselamatan jiwa orang-orang yang bernaung di dalamnya.

 

Ketiga, mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas permasalahan ini untuk keadilan bagi korban. Penyelidikan yang menyeluruh dan proses hukum yang adil sekaligus mempertimbangkan hak-hak asasi manusia seperti hak anak dan hak atas pendidikan sangatlah penting dalam menegakkan keadilan bagi korban dan mencegah terulangnya kasus serupa terjadi di masa depan. 

 

Keempat, mendorong Kementerian Agama  bekerja sama dengan  Kementerian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, termasuk ahli dan organisasi masyarakat sipil membangun dan mendorong implementasi mekanisme berbasis komunitas di dalam institusi pendidikan pesantren yang memungkinkan adanya sistem pencegahan potensi tindakan kekerasan. Hal ini bertujuan untuk mencegah sejak dini adanya potensi kekerasan dan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan inklusif untuk semua.

 

Kelima, mendorong Majelis Masyayikh, lembaga lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren sebagaimana UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memasukan materi anti perundungan dan kekerasan dalam kurikulum dan sistem manajemen pesantren.

 

Keenam, mendorong pemerintah daerah secara terencana dan sistematis mengembangkan program-program pencegahan perundungan dan kekerasan. Upaya ini dapat dilakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang selama ini bergerak dalam isu pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. 

 

Ketujuh, mengajak seluruh institusi pendidikan, termasuk pendidikan  keagamaan dan pondok pesantren untuk berkomitmen zero tolerance terhadap perundungan bahkan kekerasan dengan menerapkan dan terus menerus mensosialisasikan kebijakan anti perundungan dan anti kekerasan.  Dengan cara ini lingkungan pendidikan keagamaan dan pondok pesantren menjadi tempat yang damai untuk tumbuh kembang pendidikan anak dan sekaligus menjadi agen perubahan yang aktif dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih aman.

 

Demikian pernyataan sikap yang dapat kami sampaikan, kami berharap tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak terulang kembali.

 

Rumah Pergerakan Gus Dur, Rabu, 28 Februari 2024

Bagikan Artikel: