Kembali

Yenny Wahid: Perempuan dan Laki-Laki Hanya Dibedakan dalam Tingkat Ketakwaannya Saja

Ditulis : Admin

Jumat, 29 November 2019

Jakarta-Perempuan seringkali dikelompokkan sebagai golongan kelas dua dalam struktur hierarki budaya masyarakat. Peran seperti mengurus rumah tangga, mengurus anak, memasak, seakan menjadi satu-satunya pekerjaan yang tepat bagi perempuan. Bahkan, sebagian kelompok masyarakat menggunakan dalih agama untuk membenarkan rumusan yang mereka buat itu.

“Ada banyak mengatakan bahwa dalam agama Islam perempuan tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, tidak boleh aktif. Yang saya tahu justru terbalik, Islam hadir dengan membawa revolusi besar,” tegas Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid di acara “Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining Peace" bersama Kementerian Luar Negeri , Sekretariat Wakil Presiden dan perempuan Afganistan dari pelbagai latar belakang di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jum’at (29/11).

Yenny Wahid menyampaikan sejumlah hal yang berkaitan dengan pandangan miring tentang stigma domestik serta tips dan trik bagaimana perempuan bisa terlepas dari stigma itu. Berikut transkrip lengkapnya:

“Sungguh sebuah kehormatan besar bagi saya pribadi bisa bertemu dengan saudari-saudari sekalian. Karena bagi saya saudari sekalian adalah pahlawan yang sesungguhnya. Ibu-Ibu sekalian menempuh jarak yang sangat jauh untuk datang ke sini dengan membawa ceritanya masing-masing. Saya percaya bahwa semua cerita Ibu, adalah cerita yang inspiratif dan mengagumkan. Oleh karena itu, saya merasa sangat terhormat bisa bertemu dengan Ibu-Ibu sekalian.

Saya ingin melanjutkan apa yang dikatakan oleh Prof. Huazaimah tadi tentang peran perempuan dan sesuai dengan arahan Ibu Ruhaini untuk sharing tentang apa yang telah kami lakukan tentang peran perempuan dalam proses perdamaian.

Biasanya kami memulai dengan cara berpikirnya dahulu. Cara berpikir tentang apa yang bisa dilakukan oleh perempuan. Terutama tentang cara perempuan berpikir dengan diri mereka dahulu. Tadi Prof. Huzaimah telah menyinggung tentang apa yang disebut kodrat. Sama seperti di Afghanistan, di Indonesia pun ada tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perempuan untuk bisa aktif di ruang publik, berkiprah dan memaksimalkan potensi dirinya. Salah satu penghalang utama adalah salah paham yang kerap ada di tengah-tengah masyarakat tentang kodrat perempuan. Banyak yang mengatakan bahwa kodrat perempuan adalah di rumah, di ruang domestik, mengurus anak, mencuci dan lain sebagainya.

Tetapi kita sama-sama tahu bahwa kodrat adalah sesuatu yang sifatnya given. Sesuatu yang datangnya tidak diatur oleh manusia tetapi diatur oleh yang Maha Kuasa. Inilah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Seperti disinggung oleh Prof. Huzaimah tadi. Kodrat perempuan ada empat. Inilah yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pertama, dia menstruasi. Kedua, dia hamil. Ketiga, dia melahirkan. Keempat, dia menyusui.

Di luar itu namanya bukan kodrat. Di luar itu namanya adalah kesepakatan. Di luar itu namanya adalah konstruksi sosial. Kalau konstruksi sosial artinya boleh diubah, dinegosiasikan, dan kita boleh membuat kesepakatan baru. Apakah tugas mengurus anak tugas perempuan? Menurut saya tidak. Mengurus anak adalah tugas perempuan dan laki-laki. Karena apa? Anak membutuhkan figur ayah dan bukan hanya ibu saja. Tetapi masyarakat kita masih sering salah kaprah, berpikir kodrat perempuan mengurus rumah tangga. Kalau kita lihat di dunia modern saat ini, di mana semua hal, ketika dikuantifikasi. Ada nilai keuangan di dalamnya, tidak bisa terbayangkan berapa nilai yang telah diberikan oleh perempuan dalam mengurus rumah tangga. Kita ambil contoh, di banyak negara. Kalau kita ingin mempekerjakan seseorang untuk memasak bagi kita, berapa gaji yang harus kita bayarkan. Kalau kita ingin membayar orang untuk mencuci pakaian kita, berapa uang yang harus kita keluarkan. Kalau kita ingin membayar orang untuk merawat anak kita berapa uang yang harus dikeluarkan oleh keluarga itu.

Inilah yang kadang disepelekan oleh masyarakat. Perempuan bekerja secara cuma-Cuma dalam memberikan layanan ini. Mencuci tidak dibayar, mengurus anak tidak dibayar, memasak tidak dibayar. Bayangkan kalau keluarga ini harus mengeluarkan uang untuk membayar pekerjaan tersebut maka berapa uang yang harus dikeluarkan.

Untuk pekerjaan tersebut, kadang perempuan tidak diapresiasi, dihargai apa yang sudah dilakukannya. Ada yang mengatakan “ini tugas perempuan, lakukan saja,”buat saya tidak. Bayangkan kalau perempuan kemudian dibayar untuk semua tugasnya itu.

Nah, terkadang suami dan keluarga tidak menghargai peran yang dilakukan oleh perempuan tersebut. Ini yang harus diubah dulu. Jadi perempuan, harus menghargai dirinya sendiri dahulu sebelum orang lain menghargai dirinya. Kalau perempuan tidak mengerti bahwa dirinya bisa melakukan banyak hal secara gratis selama ini, orang lain akan menyepelekan dia. “Ya sudah memang itu tugasnya”.

Untuk mengubah prespektif itu, maka harus dimulai dari kesadaran perempuan terlebih dahulu. Sekarang boleh keluar rumah, aktif bekerja, berorganisasi. Tetapi sampai di rumah dia harus tetap memasak, membersihkan rumah, mencuci, padahal seharusnya ini bisa menjadi beban yang ditanggung bersama.

Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga, dimana dari kecil saya melihat bapak saya sering membantu ibu saya. Ibu saya bercerita waktu saya kecil (bayi), ketika saya menangis dan ibu saya tidur di tempat tidur, bapak yang akan bangun dari tempat tidur mengambil bayi dalam box diberikan kepada ibu saya untuk disusui lalu dikembalikan lagi dalam box.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang sering menyaksikan bapak mencuci piring. Jadi bagi kami kesetaraan gender adalah hal yang sudah biasa. Bapak saya adalah cucu dari pendiri NU. Jadi beliau dulu bersekolah di al-Azhar dan Baghdad. Jadi cukup mengerti hukum-hukum agama. Jadi beliau tidak canggung melakukan hal-hal yang dalam masyarakat dipahami sebagai tugas perempuan.

Jadi kita harus memulai dari diri kita terlebih dahulu, sadar akan hak kita dan peran yang harus kita jalankan. Kalau kita sudah sadar, baru bisa kita meminta orang lain untuk memberikan pengakuan. Memang tidak mudah mengubah mindset, tetapi harus dimulai. Kalau tidak, ya selamanya kita akan berada di tempat yang sama. Pasti akan menemui resistensi, pasti akan menemui tantangan dan dianggap perempuan agresif misalnya. Tetapi niatkan untuk melakukan ini bagi anak perempuan kita, cucu kita agar mereka mendapat kesetaraan dalam masyarakat.

Ada banyak mengatakan bahwa dalam agama Islam perempuan tidak boleh melakukan ini, tidak boleh aktif. Yang saya tahu justru terbalik, Islam hadir dengan membawa revolusi besar, menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat istimewa. Memberikan hak yang setara. Perempuan dan laki-laki hanya dibedakan dalam tingkat ketakwaannya saja. Itulah prinsip utama Islam.

Namun dengan berjalannya waktu, prinsip ini dikaburkan dan ditutupi. Ditutupi oleh apa? Oleh budaya. Bukan oleh ajaran Islam itu sendiri. Jadi ini harus kita bedakan antara ajaran dan budaya. Prinsip Islam adalah kesetaraan, prinsip Islam adalah perempuan punya tempat Istimewa, bukan cuman sekedar teori. Tetapi memang sama istimewanya, dan itu prinsip utama dalam Islam.” DRK

Bagikan Artikel: