Kembali

Buku “Suara dari Bima”: Narasi Perempuan dan Orang Muda untuk Lingkungan dan Perdamaian

Ditulis : Admin

Rabu, 29 Oktober 2025

Bima — Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, Wahid Foundation bersama La Rimpu dan LP2DER meluncurkan buku berjudul “Suara dari Bima: Menelusuri Catatan Perempuan dan Orang Muda dari Akar Rumput tentang Lingkungan, Keadilan Gender, dan Harapan akan Perdamaian” di Museum Asi Mbojo, Kota Bima, Selasa (28/10/2025).

 

Kegiatan ini merupakan bagian dari program Perempuan Berdaya untuk Perdamaian Berkelanjutan (WE NEXUS) yang didukung oleh UN Women dan Pemerintah Korea Selatan (KOICA). Program ini berfokus pada pemberdayaan perempuan dan orang muda di wilayah Bima untuk memperkuat ketangguhan masyarakat, pencegahan konflik, serta kohesi sosial berbasis kearifan lokal.

 

Buku “Suara dari Bima” berisi tujuh kisah yang ditulis oleh peserta Kelas Inisiator Perdamaian (KIP) Orang Muda dari empat desa (Roi, Rato, Samili, dan Ncera) serta tiga kelurahan (Dara, Penatoi, dan Paruga). Kisah-kisah tersebut menyoroti isu lingkungan, pemberdayaan perempuan dan anak, serta upaya melawan intoleransi dan ekstremisme kekerasan melalui narasi alternatif yang damai dan kreatif.

 

Dalam sambutannya, Wali Kota Bima H. A. Rahman H. Abidin, S.E. yang diwakili Asisten I Setda Kota Bima, Drs. H. Alwi Yasin, M.AP, menyampaikan apresiasi tinggi atas karya anak muda Bima yang berhasil menuliskan refleksi sosialnya dalam buku Suara dari Bima. Ia menilai karya tersebut menjadi langkah awal penting untuk membangun budaya literasi yang berakar pada pengalaman masyarakat sendiri.

 

“Buku ini tidak hanya mengangkat isu-isu penting seperti kerusakan lingkungan dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga mengajak kita untuk mengejawantahkan gagasan-gagasan itu dalam laku sehari-hari. Pemerintah Kota Bima sangat mendukung setiap upaya penyelamatan lingkungan dan inisiatif sosial yang berorientasi pada kemaslahatan bersama,” terangnya.

 

“Kami berharap, kehadiran buku ini mampu mengubah pola pikir dan menjadi penyemangat bagi generasi muda untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi daerahnya,” pungkasnya

 

Sementara itu, M. Zainal Fanani, Community Development Manager Wahid Foundation, menekankan pentingnya kesinambungan gerakan sosial yang telah dimulai melalui karya ini. Ia menyebut buku Suara dari Bima sebagai bentuk nyata kontribusi anak muda dan kelompok perempuan dalam membangun narasi damai yang kontekstual dengan kehidupan sehari-hari.

 

“Ini adalah bentuk kontribusi nyata dari orang muda dan kelompok perempuan untuk mewujudkan Bima Bhisa—Bima yang Indah, Sehat, dan Asri. Lebih dari sekadar bacaan, penting bagi kita semua untuk menindaklanjuti pesan-pesan dalam buku ini menjadi aksi bersama. Karena salah satu kunci keberhasilan komunitas adalah kolaborasi,” tuturnya.

 

Acara peluncuran juga disertai dengan penyerahan dana hibah “Gus Dur for Humanity” untuk dua bank sampah di Kelurahan Paruga dan Dara, sebagai simbol dukungan terhadap gerakan lingkungan berkelanjutan yang dipelopori kelompok perempuan, orang muda, dan masyarakat setempat.

 

Narasi dari Perubahan dan Kesadaran

 

Usai peluncuran, digelar Diskusi Orang Muda untuk Perdamaian Berkelanjutan, menghadirkan empat penulis muda: Nining Andriani (Kelurahan Dara), Nuryati (Desa Rato), Ruhil Fitri (Desa Ncera), dan Nur Atiah (Desa Roi). Mereka berbagi refleksi tentang isu yang mereka angkat, mulai dari lingkungan hingga perkawinan anak.

 

Melalui proses pelatihan dan pendampingan Kelas Inisiator Perdamaian (KIP) Orang Muda, selain belajar menulis, kelompok orang muda juga menemukan cara baru untuk memahami persoalan sosial di lingkungan mereka.

 

Bagi Nining Andriani dari Kelurahan Dara, menulis adalah bentuk perlawanan kecil terhadap sikap abai terhadap lingkungan. Ia mengangkat kisah tentang pencemaran di Pantai Amahami yang semakin parah.

 

“Awalnya saya hanya resah melihat sampah menumpuk di pantai. Tapi lewat menulis, saya sadar bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana,” ujar Nining.

 

“Kalau di pantai tidak ada tempat sampah, ya bawa pulang sampahmu sendiri. Kesadaran kecil seperti ini bisa menular menjadi gerakan besar.”

Sementara itu, Nuryati dari Desa Rato menemukan inspirasi dari sosok lokal yang berhasil mengubah masalah menjadi peluang. Dalam tulisannya “Muhlis Mukti, Menyulap Sampah Jadi Cuan”, ia menggambarkan bagaimana pengelolaan sampah bisa bernilai ekonomi dan membangun kesadaran kolektif di desanya.

 

“Saya belajar melihat sampah bukan sebagai beban, tapi sebagai sumber penghidupan,” tutur Nuryati.

 

“Menulis kisah Pak Muhlis membuat saya percaya bahwa solusi sering kali sudah ada di sekitar kita, tinggal kemauan kita untuk melihatnya.”

 

Proses menulis menjadi pengalaman yang menggugah sisi emosional dan empati sosial. Ruhil Fitri dari Desa Ncera menulis tentang kehidupan anak-anak petani migran yang ditinggalkan orang tuanya bekerja di luar daerah.

 

“Menulis cerita ini membuat saya melihat langsung bagaimana anak-anak tumbuh tanpa pendampingan orang tua,” katanya dengan lirih.

 

“Ada yang bilang mereka bebas, tapi sebenarnya kesepian. Saya belajar bahwa mendengar dan menulis adalah bentuk mendampingi, agar suara mereka tidak hilang.”

 

Sedangkan bagi Nur Atiah dari Desa Roi, menulis menjadi bentuk keberanian untuk menantang tradisi yang sering membungkam. Ia mengangkat kisah “N dan Potret Pernikahan Anak di Kabupaten Bima”, kisah nyata yang membuatnya harus berhadapan langsung dengan kasus pernikahan usia dini di desanya.

 

“Selama menulis, saya harus melihat sendiri bagaimana anak-anak menikah di usia yang sangat muda. Saya menulis bukan hanya untuk menceritakan, tapi untuk menolak, menolak budaya yang merampas masa depan anak perempuan,” tegas Atiah.

 

Sesi diskusi juga menampilkan tanggapan dari Nur Komala, S.E. Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Bima, Nur Rifai, M.Ap., Fungsional Analis Kebijakan Ahli Muda DP3AP2KB Kabupaten Bima, Nurwahidah, akademisi dari STKIP Taman Siswa, serta  Muhammad Akbar Alkindi Patra Al-Farasyah, Yayasan Generasi Mau Belajar yang memberikan perspektif advokatif dari lapangan.

 

Malam harinya, kegiatan dilanjutkan dengan Malam Apresiasi Seni yang menghadirkan pertunjukan dari para penulis muda dan komunitas lokal. Penampilan mencakup monolog berjudul “Dari Luka, Menjadi Cahaya” yang menceritakan kisah perjalanan Ibu N yang kini menjadi jembatan perdamaian di lingkungannya, puisi bertema lingkungan, musik etnik “Tembang Hamindoho Kola” oleh Kasaro Project, serta tarian “Weri Lanta” oleh Ayu CikguArt x Sanggar Seni Putra Sang Bima. Lagu “Nggahi Rawi Pahu” yang dibawakan penyanyi muda Nadya membuka sesi ini dengan penuh semangat persaudaraan dan harapan.

 

Tentang Program WE NEXUS

 

Program Empowered Women for Sustainable Peace: Addressing Peace Humanitarian Nexus to Enhance Community Resilience (WE NEXUS) merupakan kerja sama Wahid Foundation, La Rimpu, LP2Der yang didukung UN Women, dan KOICA. Program ini bertujuan memperkuat ketangguhan masyarakat melalui pemberdayaan perempuan dan orang muda dalam pencegahan konflik, kesiapsiagaan bencana, dan pembangunan sosial inklusif. (ZA)

Bagikan Artikel: